|
|
LAPORAN PRAKTIKUM PSIKOLOGI FAAL
1.
|
Percobaan
|
:
|
Indera
Pendengaran (Penghantar aerotymponal dan
craniotymponal pada pendengaran).
|
Nama Percobaan
|
:
|
Percobaan
Rine
|
|
Nama Subjek Percobaan
|
:
|
Fransiska
Pingky Arianti
|
|
Tempat Percobaan
|
:
|
Laboratorium
Psikologi Faal
|
|
a.
Tujuan
Percobaan
|
:
|
Untuk
membuktikan bahwa transimisi melalui udara lebih baik daripada tulang.
|
|
b.
Dasar
Teori
|
:
|
Telinga
adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan
keseimbangan). Dasar menentukan suatu gangguan pendengaran akibat kebisingan
adalah adanya pergeseran ambang pendengaran, yaitu selisih antara ambang
pendengaran pada pengukuran sebelumnya dengan ambang pendengaran setelah
adanya pajanan bising (satuan yang dipakai adalah desibel (dB)). Pegeseran
ambang pendengaran ini dapat berlangsung sementara namun dapat juga menetap.
Efek bising terhadap pendengaran dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
trauma akustik, perubahan ambang pendengaran akibat bising yang berlangsung
sementara (noise- induced temporary
threshold shift) dan perubahan ambang pendengaran akibat bising yang
berlangsung permanen (noise- induced permanent
threshold shift). Pajanan bising intensitas tinggi secara berulang dapat
menimbulkan kerusakan sel-sel rambut organ corti di telinga dalam. Kerusakan dapat terlokalisasi di beberapa
tempat di cochlea atau di seluruh
sel rambut di cochlea.
Gangguan
pendengaran yang terjadi akibat bising ini berupa tuli saraf koklea dan
biasanya mengenai kedua telinga. Pada anamnesis
biasanya mula-mula pekerja mengalami kesulitan berbicara di lingkungan yang
bising, jika berbicara biasanya mendekatkan telinga ke orang yang berbicara,
berbicara dengan suara menggumam, biasanya marah atau merasa keberatan jika
orang berbicara tidak jelas, dan sering timbul tinitus. Biasanya pada proses
yang berlangsung perlahan-lahan ini, kesulitan komunikasi kurang dirasakan
oleh pekerja bersangkutan; untuk itu informasi mengenai kendala komunikasi
perlu juga ditanyakan pada pekerja lain atau pada pihak keluarga. Pada
pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar sampai gendang
telinga. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu dilakukan secara
lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang
menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi telinga, trauma telinga
karena agen fisik lainnya, gangguan telinga karena agen toksik dan alergi. Selain
itu pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya
masalah di susunan saraf pusat yang dapat menggangggu pendengaran.
Pemeriksaan dengan garpu tala (Rinne, Weber, dan Schwabach) akan menunjukkan
suatu keadaan tuli saraf: Tes Rinne menunjukkan hasil positif, pemeriksaan
Weber menunjukkan adanya lateralisasi ke arah telinga dengan pendengaran yang
lebih baik, sedangkan pemeriksaan Schwabach memendek. Untuk menilai ambang
pendengaran, dilakukan pemeriksaan audiometri. Pemeriksaan ini terdiri atas 2
grafik yaitu frekuensi (pada axis
horizontal) dan intensitas (pada axis
vertikal). Pada skala frekuensi, untuk program pemeliharaan pendengaran (hearing conservation program) pada
umumnya diwajibkan memeriksa nilai ambang pendengaran untuk frekuensi 500,
1000, 2000, 3000, 4000, dan 6000 Hz. Bila sudah terjadi kerusakan, untuk
masalah kompensasi maka dilakukan pengukuran pada frekuensi 8000 Hz karena
ini merupakan frekuensi kritis yang menunjukkan adanya kemungkinan hubungan
gangguan pendengaran dengan pekerjaan; tanpa memeriksa frekuensi 8000 Hz ini,
sulit sekali membedakan apakah gangguan pendengaran yang terjadi akibat
kebisingan atau karena sebab yang lain. Pemeriksaan audiometri ini tidak
secara akurat menentukan derajat sebenarnya dari gangguan pendengaran yang
terjadi. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti lingkungan tempat
dilakukannya pemeriksaan, tingkat pergeseran ambang pendengaran sementara
setelah pajanan terhadap bising di luar pekerjaan, serta dapat pula
permasalahan kompensasi membuat pekerja seolah-olah menderita gangguan
pendengaran permanen.
|
|
c.
Alat
yang Digunakan
|
:
|
Garputala
|
|
d.
Jalannya
Percobaan
|
:
|
1.
Praktikan mengenggam garputala kemudian
membenturkan garputala pada
sebuah besi hingga garputala bergetar. Lalu praktikan meletakan garputala
tersebut di atas kepala dan kemudian meletakannya di depan lubang telinga
ketika getaran pada garputala sudah menghilang. Kemudian praktikan diminta
untuk menganalisis peristiwa yang terjadi ketika garputala yang sudah tidak
lagi bergetar di letakkan di dekat lubang telinga.
2.
Praktikan mengenggam garputala kemudian
membenturkan garputala pada
sebuah besi hingga garputala bergetar. Lalu praktikan meletakan garputala tersebut
di belakang daun telinga dan kemudian meletakannya di depan lubang telinga
ketika getaran pada garputala sudah menghilang. Kemudian praktikan diminta
untuk menganalisis peristiwa yang terjadi ketika garputala yang sudah tidak
lagi bergetar di letakkan di dekat lubang telinga.
|
|
e.
Hasil
Percobaan
|
:
|
1. Pada
percobaan pertama, terdengar suara berdenging ketika garputala diletakkan di
depan lubang telinga saat sudah berhenti bergetar.
2. Pada
percobaan kedua, suara berdenging terdengar lebih jelas ketika garputala yang
sebelumnya diletakan di belakang daun telinga kemudian diletakan di depan
lubang telinga saat sudah berhenti bergetar.
Hasil
Sebenarnya:
1. Suara nada garputala yang sudah tidak
terdengar ketika ditempatkan di puncak kepala, masih tetap terdengar ketika
garputala itu ditempatkan di depan lubang telinga.
2.Suara nada
garputala yang sudah tidak terdengar ketika ditempatkan di belakang telinga,
masih tetap terdengar ketika ditempatkan di depan lubang telinga.
a.
Semakin besar garputala à
semakin berat
suaranya.
b.
Garputala dan telinga sejajar à
hantaran suaranya bagus
c. Pada orang tua, elastisitas
membrane timpani kurang bagus, sehingga terkadang indera pendengarannya
kurang berfungsi dengan baik.
d. Membran
timpani menggetarkan maleus, inus, stapes à
sehingga terdengar suara.
|
|
f. Kesimpulan
|
:
|
Suara
dapat dihantarkan melalui udara dan juga melalui tulang. Namun penghantar
pendengaran yang paling baik adalah udara. Sedangkan ketajaman pendengaran
dapat dipengarahui oleh kebisingan yang ditimbulkan dari lingkungan.
|
|
g. Daftar Pustaka
|
:
|
Puspitawati,
I. (1999). Psikologi faal. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Ibayati,
Y., Kurniasih, M., dan Sudjadi, B. (2000). Prestasi biologi 2. Bandung: Ganesha Exact.
Basuki,
H. (2008). Psikologi umum. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
|
2.
|
Percobaan
|
:
|
Indera
Pendengaran (Penghantar aerotymponal dan
craniotymponal pada pendengaran).
|
Nama Percobaan
|
:
|
Tempat
Sumber Bunyi
|
|
Nama Subjek Percobaan
|
:
|
Fransiska
Pingky Arianti
|
|
Tempat Percobaan
|
:
|
Laboratorium
Psikologi Faal
|
|
a.
Tujuan
Percobaan
|
:
|
Untuk
menentukan sumber bunyi.
|
|
b.
Dasar
Teori
|
:
|
Telinga
adalah organ penginderaan dengan fungsi pendengaran dan keseimbangan. Indera
pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Dasar menentukan suatu gangguan pendengaran akibat
kebisingan adalah adanya pergeseran ambang pendengaran, yaitu selisih antara
ambang pendengaran pada pengukuran sebelumnya dengan ambang pendengaran
setelah adanya pajanan bising (satuan yang dipakai adalah desibel (dB)).
Telinga
manusia terdiri dari 3 bagian:
1. Telinga luar, yang memiliki fungsi
menangkap rangsangan getaran suara atau bunyi dari luar. Telinga luar terdiri
dari daun telinga dan liang telinga luar
2. Telinga tengah atau ruang timpani,
berfungsi untuk menghantarkan suara atau bunyi dari telinga luar ke telinga
dalam. Pada telinga bagian tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yaitu
martil, inkus, dan stapes.
3. Telinga dalam, berfungsi menerima getaran
suara atau bunyi yang disampaikan oleh telinga tengah. Didalam telinga bagian
dalam terdapat koklea atau yang biasa dikenal dengan rumah siput, koklea
adalah saluran spiral yang terdiri atas skala vestibuli terletak dibagian
dorsal, skala media terletak dibagian tengah, dan skala timpani terletak
dibagian ventral serta berisi cairan perilimf dan permukaan dalamnya merupakan
tempat bermuara saraf. Ujung saraf terebut peka terhadap getaran yang
ditimbulkan oleh cairan tersebut. Semua ujung saraf tersebut membentuk saraf
pendengaran. Suara ditimbukan oleh getaran yang dikenal sebagai gelombang
suara yang kecepatan dan volumenya berbeda-beda.
Proses
penghantaran suara dapat melalui berbagai medium, yaitu:
a. Pengahantar udara
b. Penghantar suara melalui tulang
c. Penghantar tulang telinga tengah
Reseptor
pendengaran dan keseimbangan terdapat didalam telinga. Reseptor ini berupa
sel-sel yang berbentuk rambut. Suara merupakan gelombang mekanik yang
rambatannya seperti udara, air, dan benda padat. Manusia dapat mendengar
suara pada frekuensi antara 20-20000 getaran perdetik (Hz) dan tidak dapat
mendengar dibawah 20 Hz dan diatas 20000 Hz. Ketika pada saat percobaan
pertama atau Rine garputala yang digetarkan terdapat urutan gelombang komprensi
dan ekspansi. Jika garpu tala membuat 100 kali getaran perdetik, maka akan
terdapat gelombang suara dengan 100 komprensi perdetik (yaitu, 100 Hz). Bunyi
yang tekanannya terkorelasi dengan gelombang sinus disebut nada murni, bentuk
gelombang bunyi apapun (tidak peduli betapa kompleksnya) dapat dipecah
menjadi serangkaian gelombang sinus yang berbeda dengan amplitudo yang
sesuai. Bila gelombang sinus tersebut dirambahkan lagi, hasilnya akan sama
dengan bentuk gelombang aslinya.
Pada
proses pendengaran terdapat teori mengenal sumber bunyi, yaitu bunyi yang
datang dari suatu sumber yang ada didalam bidang median yang melalui tubuh
manusia dan terdapat dimuka, diatas ataupun dibelakangnya akan mencapai
telinga dalam waktu bersamaan. Apabila sumber berada disebelah kiri, maka
telinga kiri yang lebih dulu mendengaranya. Oleh karena itu timbul kesan
bahwa sumber bunyi itu datang secara terus menerus pada waktu yang sama pada
kedua telinga kita, kita akan kesulitan untuk menentukan sumber bunyi.
|
|
c.
Alat
yang Digunakan
|
:
|
Pipa
karet
|
|
d.
Jalannya
Percobaan
|
:
|
Praktikan duduk di sebuah kursi kemudian asisten
laboratorium membantu memasangkan pipa karet mengitari bagian belakang kepala
praktikan dimana kedua ujung dari pipa karet tersebut diletakkan di depan
lubang telinga praktikan. Kemudian, asisten laboratorium menekan bagian pipa
karet (di samping kanan, kiri, maupun di tengah) dan praktikan diminta untuk
menebak posisi pipa karet yang ditekan.
|
|
e.
Hasil
Percobaan
|
:
|
Pada
percobaan ini, praktikan menyebutkan 3 posisi penekanan pada pipa karet,
sebagai berikut:
1. Di
samping kanan
2. Di
samping kiri
3. Di
tengah
Hasil
Sebenarnya:
Pada
percobaan ini, praktikan berhasil menyebutkan 3 posisi penekanan pada pipa
karet, sebagai berikut:
1. Di samping kanan
2. Di samping kiri
3. Di tengah
Percobaan
kali ini disertai dengan catatan bahwa ketika subjek masih bisa membedakan
posisi ditekannya pipa karet baik di sebelah kiri maupun sebelah kanan, maka
pendengaran subjek tersebut masih tergolong normal. Dan ketika subjek
mengalami kesulitan membedakan posisi pipa yang ditekan pada bagian tengah,
hal tersebut dianggap wajar karena memang cukup sulit dalam membedakan posisi
tengah dibandingkan membedakan posisi pipa karet yang ditekan di sebelah
kanan atau kiri.
|
|
f. Kesimpulan
|
:
|
Pada
proses pendengaran terdapat teori mengenal sumber bunyi, yaitu bunyi yang
datang dari suatu sumber yang ada didalam bidang median yang melalui tubuh
manusia dan terdapat dimuka, diatas ataupun dibelakangnya akan mencapai
telinga dalam waktu bersamaan. Apabila sumber berada disebelah kiri, maka
telinga kiri yang lebih dulu mendengaranya. Oleh karena itu timbul kesan
bahwa sumber bunyi itu datang secara terus menerus pada waktu yang sama pada
kedua telinga kita, kita akan kesulitan untuk menentukan sumber bunyi.
|
|
g. Daftar Pustaka
|
:
|
Puspitawati,
I. (1999). Psikologi faal. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Ibayati,
Y., Kurniasih, M., dan Sudjadi, B. (2000). Prestasi biologi 2. Bandung: Ganesha Exact.
Evelyn,
C. Pearce. 2000. Anatomi dan fisiologi
untuk paramedis. Jakarta: PT.Gramedia
|
3.
|
Percobaan
|
:
|
Indera
Pendengaran (Penghantar aerotymponal dan
craniotymponal pada pendengaran).
|
Nama Percobaan
|
:
|
Pemeriksaan
Ketajaman Pendengaran
|
|
Nama Subjek Percobaan
|
:
|
Fransiska
Pingky Arianti
|
|
Tempat Percobaan
|
:
|
Laboratorium
Psikologi Faal
|
|
a.
Tujuan
Percobaan
|
:
|
Untuk
memeriksa ketajaman pendengaran.
|
|
b.
Dasar
Teori
|
:
|
Pendengaran
merupakan alat mekanoreseptif karena telinga memberikan respon terhadap
getaran mekanik dari gelombang suara yang terdapat di udara. Proses mendengar
ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara yang
kecepatan dan volumenya berbeda-beda. Gelombang suara bergerak melalui
telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan membran timpani bergetar. Getaran-getaran tersebut
diteruskan menuju inkus dan stapes melalui maleus yang terikat pada membran
itu. Karena getaran yang timbul pada setiap tulang itu sendiri, maka tulang
akan memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke fenestra vestibuler menuju perilymph.
Suara
adalah sensasi yang di hasilkan bila getaran longitudinal molekul-molekul
dari lingkungan luar, yaitu fase pemadatan dan perengganan dari
molekul-molekul yang silih berganti mengenai membran timpani. Telinga
mengubah gelombang suara dari luas menjadi potensial aksi nervus cochlerasis.
Gelombang diubah oleh gendang telinga dan tulan-tulang pendengaran menjadi
gerakkan papan kaki stapes. Gerakkan ini menimbulkan gelombang pada organ
costi menimbulkan potensial alias pada serabut-serabut saraf. Organ corti
merupakan organ yang menimbulkan impuls saraf akibat getaran membran
vasilaris.
|
|
c.
Alat
yang Digunakan
|
:
|
Arloji/jam
|
|
d.
Jalannya
Percobaan
|
:
|
Praktikan duduk di sebuah kursi, kemudian asisten
laboratorium meletakan arloji di depan telinga praktikan, lalu mengerakan
secara perlahan arloji tersebut menjauhi telinga praktikan. Kemudian
praktikan diminta untuk mengatakan ‘stop’
ketika suara arloji sudah tidak terdengar lagi. Setelah itu, asisten
laboratorium membantu mengukur jarak antara arloji dengan telinga praktikan pada
saat suara arloji yang digerakkan menjauhi telinga praktikan sudah tidak lagi
terdengar.
|
|
e.
Hasil
Percobaan
|
:
|
Pada
percobaan ini, jarak telinga praktikan mampu mendengar suara arloji adalah
sebagai berikut:
Telinga
kanan : 46cm
Telinga
Kiri : 58cm
Hasil
Sebenarnya:
1. Ketajaman pendengaran sangat dipengaruhi
oleh kebisingan.
2. Untuk pendengaran normal, jarak ketajaman
yang dapat dicapai rata-rata sejauh 50cm.
3. Biasanya telinga kanan lebih jauh jarak
ketajamannya dibandingkan telinga kiri (pengaruhnya pada otak kanan dan
kiri).
|
|
f.
Kesimpulan
|
:
|
Proses
mendengar ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang
suara yang kecepatan dan volumenya berbeda-beda. Gelombang suara bergerak
melalui telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan membran timpani bergetar. Ketajaman pendengaran sangat
dipengaruhi oleh kebisingan. Untuk pendengaran normal, jarak ketajaman yang
dapat dicapai rata-rata sejauh 50cm.
|
|
g.
Daftar
Pustaka
|
:
|
Puspitawati,
I. (1999). Psikologi faal. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Ibayati,
Y. Kurniasih, M., dan Sudjadi, B. (2000). Prestasi
biologi 2. Bandung: Ganesha Exact.
Basuki,
H. (2008). Psikologi umum. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
|
4.
|
Percobaan
|
:
|
Keseimbangan
|
Nama Percobaan
|
:
|
Keseimbangan
|
|
Nama Subjek Percobaan
|
:
|
Fransiska
Pingky Arianti
|
|
Tempat Percobaan
|
:
|
Laboratorium
Psikologi Faal
|
|
a.
Tujuan
Percobaan
|
:
|
Untuk
memahami bahwa cairan endolymph dan
perilymph yang terdapat pada
telinga bias bergejolak (goyang) akan menyebabkan keseimbangan seseorang
terganggu; memahami bahwa keseimbangan yang terganggu mudah dikembalikan
seperti sediakala; melihat adanya nistagmus.
|
|
b.
Dasar
Teori
|
:
|
Keseimbangan
adalah kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan tubuh dan bagian-bagian
dalam hubungan yang dengan ruang internal. Gangguan keseimbangan dihasilkan
dari penyakit yang mempengaruhi sentral atau pathway vestibular perifer seperti penyakit vertigo. Keseimbangan
bergantung pada labirintin, penglihat (visual) dan input somatosensorius
(proprioceptif) dan intergrasinya dalam batang orak dan sereblum. Di dalam
telinga terdapat cairan endolymph dan
perilymph yang bila bergejolak atau goyang menyebabkan keseimbangan seseorang
terganggu. Telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu telinga luar, tengah, dan
dalam dimana masing masing bagian memiliki fungsinya masing-masing. Pada
telinga bagian dalam berfungsi mengubah getaran yang masuk ke dalam telinga
diubah menjadi implus saraf spesifik yang berjalan melalui nervus akustikus
ke susunan saraf pusat. Telinga bagian dalam juga mengandung organ vestibuler yang berfungsi untuk
mempertahankan keseimbangan. Telinga bagian dalam merupakan struktur yang
kompleks, terdiri dari serangkaian rongga-rongga tulang dan saluran membranosa yang berisi cairan.
Saluran-saluran membranosa
membentuk labirin membranosa dan berisi cairan endolymph, sedangkan rongga-rongga tulang yang di dalamnya berada
labirin membranosa disebut labirin
tulang (labirin osseosa). Labirin tulang
berisi cairan perilymph.
Nistagmus
adalah gerakan mata yang cepat dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah.
Arah dari gerakan tersebut bisa membantu dalam menegakkan diagnosa. Nistagmus
bisa dirangsang dengan menggerakkan kepala penderita secara tiba-tiba atau
dengan meneteskan air dingin ke dalam telinga.
|
|
c.
Alat
yang Digunakan
|
:
|
Diri
sendiri
|
|
d.
Jalannya
Percobaan
|
:
|
4.1. Cara Kerja Kedudukan Kepala dan Mata
Normal.
Praktikan berdiri dengan mengambil
sikap badan tegak lurus kemudian berjalan lurus hingga jarak yang ditentukan
oleh asisten laboratorium. Di akhir jarak yang telah ditentukan, praktikan
menolehkan kepala ke kanan lalu berjalan ke arah sebaliknya dengan posisi
kepala menoleh ke kanan. Percobaan ini dilakukan dua kali dengan kondisi kepala menoleh ke
kiri pada percobaan kedua.
4.2. Cara Kerja Kanalis Semisirkularis
Horizontalis.
Praktikan berdiri dengan mengambil
sikap badan tegak lurus sambil menundukan kepala hingga dagu menyentuh dada.
Lalu asisten laboratorium akan memutar badan praktikan (wanita sebanyak 3
kali dan pria sebanyak 5 kali) dan kemudian praktikan berjalan lurus hingga
jarak yang ditentukan oleh asisten laboratorium.
4.3. Cara Kerja Nistagmus.
Praktikan mengambil posisi tubuh
dengan tangan kanan menyentuh lutut dan tangan kiri menyentuh telinga kanan
kemudian badan praktikan akan diputar sebanyak 3-5 kali. Setelah itu
praktikan diminta untuk menjelaskan kondisi tubuh yang dirasakan setelah
berputar.
|
|
e.
Hasil
Percobaan
|
:
|
4.1. Cara Kerja Kedudukan Kepala dan Mata
Normal.
Percobaan II lebih pusing dampaknya
dibandingkan percobaan I.
4.2. Cara Kerja Kanalis Semisirkularis
Horizontalis.
Percobaan I lebih pusing dampaknya
dibandingkan dengan percobaan II.
4.3. Cara Kerja Nistagmus.
Praktikan tidak mengikuti percobaan
dikarenakan kondisi tubuh yang tidak memungkinkan (anemia).
Hasil
Sebenarnya:
4.1. Cara Kerja Kedudukan Kepala dan Mata
Normal.
1. Dalam sikap
tubuh biasa, praktikan dapat berjalan lurus atau tidak mengalami kesulitan.
2. Dalam sikap tubuh dengan muka menoleh ke
kanan atau kiri, praktikan tidak dapat berjalan lurus. Biasanya berjalan kea
rah kiri atau kanan.
4.2. Cara Kerja Kanalis Semisirkularis Horizontalis.
1. Percobaan I biasanya mengalami kesulitan
berjalan lurus à normal, karena
cairan endolymph dan perilymph terganggu atau bergejolak.
2. Percobaan II biasanya tidak terlalu
mengalami kesulitan untuk berjalan lurus seperti percobaan I karena cairan endolymph dan perilymph normal kembali.
4.3. Cara Kerja Nistagmus.
1. Biasanya pandangan menjadi kabur.
2. Pandangan yang terlihat menjadi berputar-putar.
|
|
f.
Kesimpulan
|
:
|
Telinga
dibagi menjadi tiga bagian yaitu: bagian luar, bagian tengah, dan bagian
dalam. Pada telinga bagian dalam terdapat cairan yang berfungsi dalam menjaga
keseimbangan. Cairan itu adalah endolymph dan perilymph. Jika cairan tersebut
terguncang maka manusia tidak dapat berjalan dengan lurus, bahkan bias
berdampak pada pandangan yang menjadi kabur dan kepala yang terasa pusing.
|
|
g.
Daftar
Pustaka
|
:
|
Pujianto,
Sri. 2008. Menjelajah Dunia Biologi 2.
Jakarta: Tiga Serangkai
Puspitawati,
I. (1999). Psikologi faal. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Atkinson,
R.L., Atkinson, R.C., Hilgard, E.R. (1983). Pengantar Psikologi. Editor: Agus Dharman, SH, M. Ed., Ph.D.
& Michael Adryanto. Jakarta: Erlangga
|
|
Notes
|
:
|
1.
Telinga dibagi menjadi tiga bagian
yaitu: bagian luar, bagian tengah, dan bagian dalam.
2.
Bagian luar: daun telinga, cuping
telinga, liang telinga, membran timpani.
3.
Bagian tengah: M.I.S (Maleus, Incus, Stapes) / MALAS
(Martil, Landasan, Sangurdi).
4.
Bagian dalam: rumah siput (koklea) à
ada 2 macam cairan, yaitu endolymph dan
perilymph yang membuat kita
seimbang saat berjalan.
5.
Pada telinga bagian dalam terdiri 2
ruangan yang berhubungan satu dengan yang lain, ruangan tersebut tidak
teratur dan disebut labyrinth
6. Labirin ada dua yaitu:
a. Labyrinthus Ossecus (Dinding tulang) terdiri dari: serambi (vestibulum),
saluran gelung (canalis semicircularis), dan rumah siput (cochlea).
b. Labyrinthus
Membranicus (Membrane) terdiri dari: sacula, orticula, 3 buah saluran
gelung, dan rumah siput yang merupakan
bagian yang berhubungan dengan cacula donatricula.
7. Syaraf
Kranial à
auditoriu
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar