Minggu, 25 September 2016

LAPORAN PRAKTIKUM FAAL III


Nama Mahasiswa        : Fransiska P. A.
NPM                             : 12515773
Tanggal Pemeriksaan: 6 April 2016

Nama Asisten: Andi Anisa S.D.
Paraf Asisten :
LAPORAN PRAKTIKUM PSIKOLOGI FAAL

1.
Percobaan
:
Indera Pendengaran (Penghantar aerotymponal dan craniotymponal pada pendengaran).

Nama Percobaan
:
Percobaan Rine

Nama Subjek Percobaan
:
Fransiska Pingky Arianti

Tempat Percobaan
:
Laboratorium Psikologi Faal

a.    Tujuan Percobaan
:
Untuk membuktikan bahwa transimisi melalui udara lebih baik daripada tulang.

b.   Dasar Teori
:
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan keseimbangan). Dasar menentukan suatu gangguan pendengaran akibat kebisingan adalah adanya pergeseran ambang pendengaran, yaitu selisih antara ambang pendengaran pada pengukuran sebelumnya dengan ambang pendengaran setelah adanya pajanan bising (satuan yang dipakai adalah desibel (dB)). Pegeseran ambang pendengaran ini dapat berlangsung sementara namun dapat juga menetap. Efek bising terhadap pendengaran dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu trauma akustik, perubahan ambang pendengaran akibat bising yang berlangsung sementara (noise- induced temporary threshold shift) dan perubahan ambang pendengaran akibat bising yang berlangsung permanen (noise- induced permanent threshold shift). Pajanan bising intensitas tinggi secara berulang dapat menimbulkan kerusakan sel-sel rambut organ corti di telinga dalam. Kerusakan dapat terlokalisasi di beberapa tempat di cochlea atau di seluruh sel rambut di cochlea.
Gangguan pendengaran yang terjadi akibat bising ini berupa tuli saraf koklea dan biasanya mengenai kedua telinga. Pada anamnesis biasanya mula-mula pekerja mengalami kesulitan berbicara di lingkungan yang bising, jika berbicara biasanya mendekatkan telinga ke orang yang berbicara, berbicara dengan suara menggumam, biasanya marah atau merasa keberatan jika orang berbicara tidak jelas, dan sering timbul tinitus. Biasanya pada proses yang berlangsung perlahan-lahan ini, kesulitan komunikasi kurang dirasakan oleh pekerja bersangkutan; untuk itu informasi mengenai kendala komunikasi perlu juga ditanyakan pada pekerja lain atau pada pihak keluarga. Pada pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar sampai gendang telinga. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu dilakukan secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi telinga, trauma telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga karena agen toksik dan alergi. Selain itu pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya masalah di susunan saraf pusat yang dapat menggangggu pendengaran. Pemeriksaan dengan garpu tala (Rinne, Weber, dan Schwabach) akan menunjukkan suatu keadaan tuli saraf: Tes Rinne menunjukkan hasil positif, pemeriksaan Weber menunjukkan adanya lateralisasi ke arah telinga dengan pendengaran yang lebih baik, sedangkan pemeriksaan Schwabach memendek. Untuk menilai ambang pendengaran, dilakukan pemeriksaan audiometri. Pemeriksaan ini terdiri atas 2 grafik yaitu frekuensi (pada axis horizontal) dan intensitas (pada axis vertikal). Pada skala frekuensi, untuk program pemeliharaan pendengaran (hearing conservation program) pada umumnya diwajibkan memeriksa nilai ambang pendengaran untuk frekuensi 500, 1000, 2000, 3000, 4000, dan 6000 Hz. Bila sudah terjadi kerusakan, untuk masalah kompensasi maka dilakukan pengukuran pada frekuensi 8000 Hz karena ini merupakan frekuensi kritis yang menunjukkan adanya kemungkinan hubungan gangguan pendengaran dengan pekerjaan; tanpa memeriksa frekuensi 8000 Hz ini, sulit sekali membedakan apakah gangguan pendengaran yang terjadi akibat kebisingan atau karena sebab yang lain. Pemeriksaan audiometri ini tidak secara akurat menentukan derajat sebenarnya dari gangguan pendengaran yang terjadi. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti lingkungan tempat dilakukannya pemeriksaan, tingkat pergeseran ambang pendengaran sementara setelah pajanan terhadap bising di luar pekerjaan, serta dapat pula permasalahan kompensasi membuat pekerja seolah-olah menderita gangguan pendengaran permanen.

c.    Alat yang Digunakan
:
Garputala

d.   Jalannya Percobaan
:
1. Praktikan mengenggam garputala kemudian
membenturkan garputala pada sebuah besi hingga garputala bergetar. Lalu praktikan meletakan garputala tersebut di atas kepala dan kemudian meletakannya di depan lubang telinga ketika getaran pada garputala sudah menghilang. Kemudian praktikan diminta untuk menganalisis peristiwa yang terjadi ketika garputala yang sudah tidak lagi bergetar di letakkan di dekat lubang telinga.
2. Praktikan mengenggam garputala kemudian
membenturkan garputala pada sebuah besi hingga garputala bergetar. Lalu praktikan meletakan garputala tersebut di belakang daun telinga dan kemudian meletakannya di depan lubang telinga ketika getaran pada garputala sudah menghilang. Kemudian praktikan diminta untuk menganalisis peristiwa yang terjadi ketika garputala yang sudah tidak lagi bergetar di letakkan di dekat lubang telinga.

e.    Hasil Percobaan
:
1.    Pada percobaan pertama, terdengar suara berdenging ketika garputala diletakkan di depan lubang telinga saat sudah berhenti bergetar.
2.    Pada percobaan kedua, suara berdenging terdengar lebih jelas ketika garputala yang sebelumnya diletakan di belakang daun telinga kemudian diletakan di depan lubang telinga saat sudah berhenti bergetar.
Hasil Sebenarnya:
1. Suara nada garputala yang sudah tidak terdengar ketika ditempatkan di puncak kepala, masih tetap terdengar ketika garputala itu ditempatkan di depan lubang telinga.
2.Suara nada garputala yang sudah tidak terdengar ketika ditempatkan di belakang telinga, masih tetap terdengar ketika ditempatkan di depan lubang telinga.
a.        Semakin besar garputala à semakin berat
suaranya.
b.        Garputala dan telinga sejajar à hantaran suaranya bagus
c.    Pada orang tua, elastisitas membrane timpani kurang bagus, sehingga terkadang indera pendengarannya kurang berfungsi dengan baik.
d.  Membran timpani menggetarkan maleus, inus, stapes à sehingga terdengar suara.

f. Kesimpulan
:
Suara dapat dihantarkan melalui udara dan juga melalui tulang. Namun penghantar pendengaran yang paling baik adalah udara. Sedangkan ketajaman pendengaran dapat dipengarahui oleh kebisingan yang ditimbulkan dari lingkungan.

g. Daftar Pustaka     
:
Puspitawati, I. (1999). Psikologi faal. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Ibayati, Y., Kurniasih, M., dan Sudjadi, B. (2000). Prestasi biologi 2. Bandung: Ganesha Exact.
Basuki, H. (2008). Psikologi umum. Jakarta: Universitas Gunadarma.



2.
Percobaan
:
Indera Pendengaran (Penghantar aerotymponal dan craniotymponal pada pendengaran).

Nama Percobaan
:
Tempat Sumber Bunyi

Nama Subjek Percobaan
:
Fransiska Pingky Arianti

Tempat Percobaan
:
Laboratorium Psikologi Faal

a.    Tujuan Percobaan
:
Untuk menentukan sumber bunyi.

b.   Dasar Teori
:
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi pendengaran dan keseimbangan. Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Dasar menentukan suatu gangguan pendengaran akibat kebisingan adalah adanya pergeseran ambang pendengaran, yaitu selisih antara ambang pendengaran pada pengukuran sebelumnya dengan ambang pendengaran setelah adanya pajanan bising (satuan yang dipakai adalah desibel (dB)).
Telinga manusia terdiri dari 3 bagian:
1.    Telinga luar, yang memiliki fungsi menangkap rangsangan getaran suara atau bunyi dari luar. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga luar
2.    Telinga tengah atau ruang timpani, berfungsi untuk menghantarkan suara atau bunyi dari telinga luar ke telinga dalam. Pada telinga bagian tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yaitu martil, inkus, dan stapes.
3.    Telinga dalam, berfungsi menerima getaran suara atau bunyi yang disampaikan oleh telinga tengah. Didalam telinga bagian dalam terdapat koklea atau yang biasa dikenal dengan rumah siput, koklea adalah saluran spiral yang terdiri atas skala vestibuli terletak dibagian dorsal, skala media terletak dibagian tengah, dan skala timpani terletak dibagian ventral serta berisi cairan perilimf dan permukaan dalamnya merupakan tempat bermuara saraf. Ujung saraf terebut peka terhadap getaran yang ditimbulkan oleh cairan tersebut. Semua ujung saraf tersebut membentuk saraf pendengaran. Suara ditimbukan oleh getaran yang dikenal sebagai gelombang suara yang kecepatan dan volumenya berbeda-beda.
Proses penghantaran suara dapat melalui berbagai medium, yaitu:
a.     Pengahantar udara
b.    Penghantar suara melalui tulang
c.     Penghantar tulang telinga tengah
Reseptor pendengaran dan keseimbangan terdapat didalam telinga. Reseptor ini berupa sel-sel yang berbentuk rambut. Suara merupakan gelombang mekanik yang rambatannya seperti udara, air, dan benda padat. Manusia dapat mendengar suara pada frekuensi antara 20-20000 getaran perdetik (Hz) dan tidak dapat mendengar dibawah 20 Hz dan diatas 20000 Hz. Ketika pada saat percobaan pertama atau Rine garputala yang digetarkan terdapat urutan gelombang komprensi dan ekspansi. Jika garpu tala membuat 100 kali getaran perdetik, maka akan terdapat gelombang suara dengan 100 komprensi perdetik (yaitu, 100 Hz). Bunyi yang tekanannya terkorelasi dengan gelombang sinus disebut nada murni, bentuk gelombang bunyi apapun (tidak peduli betapa kompleksnya) dapat dipecah menjadi serangkaian gelombang sinus yang berbeda dengan amplitudo yang sesuai. Bila gelombang sinus tersebut dirambahkan lagi, hasilnya akan sama dengan bentuk gelombang aslinya.
Pada proses pendengaran terdapat teori mengenal sumber bunyi, yaitu bunyi yang datang dari suatu sumber yang ada didalam bidang median yang melalui tubuh manusia dan terdapat dimuka, diatas ataupun dibelakangnya akan mencapai telinga dalam waktu bersamaan. Apabila sumber berada disebelah kiri, maka telinga kiri yang lebih dulu mendengaranya. Oleh karena itu timbul kesan bahwa sumber bunyi itu datang secara terus menerus pada waktu yang sama pada kedua telinga kita, kita akan kesulitan untuk menentukan sumber bunyi.

c.    Alat yang Digunakan
:
Pipa karet

d.   Jalannya Percobaan
:
Praktikan duduk di sebuah kursi kemudian asisten laboratorium membantu memasangkan pipa karet mengitari bagian belakang kepala praktikan dimana kedua ujung dari pipa karet tersebut diletakkan di depan lubang telinga praktikan. Kemudian, asisten laboratorium menekan bagian pipa karet (di samping kanan, kiri, maupun di tengah) dan praktikan diminta untuk menebak posisi pipa karet yang ditekan.

e.    Hasil Percobaan
:
Pada percobaan ini, praktikan menyebutkan 3 posisi penekanan pada pipa karet, sebagai berikut:
1.    Di samping kanan
2.    Di samping kiri
3.    Di tengah
Hasil Sebenarnya:
Pada percobaan ini, praktikan berhasil menyebutkan 3 posisi penekanan pada pipa karet, sebagai berikut:
1.    Di samping kanan
2.    Di samping kiri
3.    Di tengah
Percobaan kali ini disertai dengan catatan bahwa ketika subjek masih bisa membedakan posisi ditekannya pipa karet baik di sebelah kiri maupun sebelah kanan, maka pendengaran subjek tersebut masih tergolong normal. Dan ketika subjek mengalami kesulitan membedakan posisi pipa yang ditekan pada bagian tengah, hal tersebut dianggap wajar karena memang cukup sulit dalam membedakan posisi tengah dibandingkan membedakan posisi pipa karet yang ditekan di sebelah kanan atau kiri.

f. Kesimpulan
:
Pada proses pendengaran terdapat teori mengenal sumber bunyi, yaitu bunyi yang datang dari suatu sumber yang ada didalam bidang median yang melalui tubuh manusia dan terdapat dimuka, diatas ataupun dibelakangnya akan mencapai telinga dalam waktu bersamaan. Apabila sumber berada disebelah kiri, maka telinga kiri yang lebih dulu mendengaranya. Oleh karena itu timbul kesan bahwa sumber bunyi itu datang secara terus menerus pada waktu yang sama pada kedua telinga kita, kita akan kesulitan untuk menentukan sumber bunyi.

g. Daftar Pustaka     
:
Puspitawati, I. (1999). Psikologi faal. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Ibayati, Y., Kurniasih, M., dan Sudjadi, B. (2000). Prestasi biologi 2. Bandung: Ganesha Exact.
Evelyn, C. Pearce. 2000. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: PT.Gramedia


3.
Percobaan
:
Indera Pendengaran (Penghantar aerotymponal dan craniotymponal pada pendengaran).

Nama Percobaan
:
Pemeriksaan Ketajaman Pendengaran

Nama Subjek Percobaan
:
Fransiska Pingky Arianti

Tempat Percobaan
:
Laboratorium Psikologi Faal

a.    Tujuan Percobaan
:
Untuk memeriksa ketajaman pendengaran.

b.   Dasar Teori
:
Pendengaran merupakan alat mekanoreseptif karena telinga memberikan respon terhadap getaran mekanik dari gelombang suara yang terdapat di udara. Proses mendengar ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara yang kecepatan dan volumenya berbeda-beda. Gelombang suara bergerak melalui telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan membran timpani  bergetar. Getaran-getaran tersebut diteruskan menuju inkus dan stapes melalui maleus yang terikat pada membran itu. Karena getaran yang timbul pada setiap tulang itu sendiri, maka tulang akan memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke fenestra vestibuler menuju perilymph.  
Suara adalah sensasi yang di hasilkan bila getaran longitudinal molekul-molekul dari lingkungan luar, yaitu fase pemadatan dan perengganan dari molekul-molekul yang silih berganti mengenai membran timpani. Telinga mengubah gelombang suara dari luas menjadi potensial aksi nervus cochlerasis. Gelombang diubah oleh gendang telinga dan tulan-tulang pendengaran menjadi gerakkan papan kaki stapes. Gerakkan ini menimbulkan gelombang pada organ costi menimbulkan potensial alias pada serabut-serabut saraf. Organ corti merupakan organ yang menimbulkan impuls saraf akibat getaran membran vasilaris.

c.    Alat yang Digunakan
:
Arloji/jam

d.   Jalannya Percobaan
:
Praktikan duduk di sebuah kursi, kemudian asisten laboratorium meletakan arloji di depan telinga praktikan, lalu mengerakan secara perlahan arloji tersebut menjauhi telinga praktikan. Kemudian praktikan diminta untuk mengatakan ‘stop’ ketika suara arloji sudah tidak terdengar lagi. Setelah itu, asisten laboratorium membantu mengukur jarak antara arloji dengan telinga praktikan pada saat suara arloji yang digerakkan menjauhi telinga praktikan sudah tidak lagi terdengar.

e.    Hasil Percobaan
:
Pada percobaan ini, jarak telinga praktikan mampu mendengar suara arloji adalah sebagai berikut:
Telinga kanan       : 46cm
Telinga Kiri          : 58cm
Hasil Sebenarnya:
1.  Ketajaman pendengaran sangat dipengaruhi oleh kebisingan.
2. Untuk pendengaran normal, jarak ketajaman yang dapat dicapai rata-rata sejauh 50cm.
3.  Biasanya telinga kanan lebih jauh jarak ketajamannya dibandingkan telinga kiri (pengaruhnya pada otak kanan dan kiri).

f.     Kesimpulan
:
Proses mendengar ditimbulkan oleh getaran atmosfer yang dikenal sebagai gelombang suara yang kecepatan dan volumenya berbeda-beda. Gelombang suara bergerak melalui telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan membran timpani  bergetar. Ketajaman pendengaran sangat dipengaruhi oleh kebisingan. Untuk pendengaran normal, jarak ketajaman yang dapat dicapai rata-rata sejauh 50cm.

g.    Daftar Pustaka    
:
Puspitawati, I. (1999). Psikologi faal. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Ibayati, Y. Kurniasih, M., dan Sudjadi, B. (2000). Prestasi biologi 2. Bandung: Ganesha Exact.
Basuki, H. (2008). Psikologi umum. Jakarta: Universitas Gunadarma.


4.
Percobaan
:
Keseimbangan

Nama Percobaan
:
Keseimbangan

Nama Subjek Percobaan
:
Fransiska Pingky Arianti

Tempat Percobaan
:
Laboratorium Psikologi Faal

a.    Tujuan Percobaan
:
Untuk memahami bahwa cairan endolymph dan perilymph yang terdapat pada telinga bias bergejolak (goyang) akan menyebabkan keseimbangan seseorang terganggu; memahami bahwa keseimbangan yang terganggu mudah dikembalikan seperti sediakala; melihat adanya nistagmus.

b.   Dasar Teori
:
Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan tubuh dan bagian-bagian dalam hubungan yang dengan ruang internal. Gangguan keseimbangan dihasilkan dari penyakit yang mempengaruhi sentral atau pathway vestibular perifer seperti penyakit vertigo. Keseimbangan bergantung pada labirintin, penglihat (visual) dan input somatosensorius (proprioceptif) dan intergrasinya dalam batang orak dan sereblum. Di dalam telinga terdapat cairan endolymph dan perilymph yang bila bergejolak atau goyang menyebabkan keseimbangan seseorang terganggu. Telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu telinga luar, tengah, dan dalam dimana masing masing bagian memiliki fungsinya masing-masing. Pada telinga bagian dalam berfungsi  mengubah getaran yang masuk ke dalam telinga diubah menjadi implus saraf spesifik yang berjalan melalui nervus akustikus ke susunan saraf pusat. Telinga bagian dalam juga mengandung organ vestibuler yang berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan. Telinga bagian dalam merupakan struktur yang kompleks, terdiri dari serangkaian rongga-rongga tulang dan saluran membranosa yang berisi cairan. Saluran-saluran membranosa membentuk labirin membranosa dan berisi cairan endolymph, sedangkan rongga-rongga tulang yang di dalamnya berada labirin membranosa disebut labirin tulang (labirin osseosa). Labirin tulang berisi cairan perilymph.
Nistagmus adalah gerakan mata yang cepat dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Arah dari gerakan tersebut bisa membantu dalam menegakkan diagnosa. Nistagmus bisa dirangsang dengan menggerakkan kepala penderita secara tiba-tiba atau dengan meneteskan air dingin ke dalam telinga.

c.    Alat yang Digunakan
:
Diri sendiri

d.   Jalannya Percobaan
:
4.1.    Cara Kerja Kedudukan Kepala dan Mata Normal.
          Praktikan berdiri dengan mengambil sikap badan tegak lurus kemudian berjalan lurus hingga jarak yang ditentukan oleh asisten laboratorium. Di akhir jarak yang telah ditentukan, praktikan menolehkan kepala ke kanan lalu berjalan ke arah sebaliknya dengan posisi kepala menoleh ke kanan. Percobaan ini dilakukan  dua kali dengan kondisi kepala menoleh ke kiri pada percobaan kedua.
4.2.    Cara Kerja Kanalis Semisirkularis  Horizontalis.
          Praktikan berdiri dengan mengambil sikap badan tegak lurus sambil menundukan kepala hingga dagu menyentuh dada. Lalu asisten laboratorium akan memutar badan praktikan (wanita sebanyak 3 kali dan pria sebanyak 5 kali) dan kemudian praktikan berjalan lurus hingga jarak yang ditentukan oleh asisten laboratorium.
4.3.    Cara Kerja Nistagmus.
          Praktikan mengambil posisi tubuh dengan tangan kanan menyentuh lutut dan tangan kiri menyentuh telinga kanan kemudian badan praktikan akan diputar sebanyak 3-5 kali. Setelah itu praktikan diminta untuk menjelaskan kondisi tubuh yang dirasakan setelah berputar.

e.    Hasil Percobaan
:
4.1.    Cara Kerja Kedudukan Kepala dan Mata Normal.
          Percobaan II lebih pusing dampaknya dibandingkan percobaan I.
4.2.    Cara Kerja Kanalis Semisirkularis  Horizontalis.
          Percobaan I lebih pusing dampaknya dibandingkan dengan percobaan II.
4.3.    Cara Kerja Nistagmus.
          Praktikan tidak mengikuti percobaan dikarenakan kondisi tubuh yang tidak memungkinkan (anemia).
Hasil Sebenarnya:
4.1.    Cara Kerja Kedudukan Kepala dan Mata Normal.
1. Dalam sikap tubuh biasa, praktikan dapat berjalan lurus atau tidak mengalami kesulitan.
2.  Dalam sikap tubuh dengan muka menoleh ke kanan atau kiri, praktikan tidak dapat berjalan lurus. Biasanya berjalan kea rah kiri atau kanan.
4.2.    Cara Kerja Kanalis Semisirkularis  Horizontalis.
1.  Percobaan I biasanya mengalami kesulitan berjalan lurus à normal, karena cairan endolymph dan perilymph terganggu atau bergejolak.
2.  Percobaan II biasanya tidak terlalu mengalami kesulitan untuk berjalan lurus seperti percobaan I karena cairan endolymph dan perilymph normal kembali.
4.3.    Cara Kerja Nistagmus.
          1. Biasanya pandangan menjadi kabur.
2.  Pandangan yang terlihat menjadi  berputar-putar.

f.     Kesimpulan
:
Telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu: bagian luar, bagian tengah, dan bagian dalam. Pada telinga bagian dalam terdapat cairan yang berfungsi dalam menjaga keseimbangan. Cairan itu adalah endolymph dan perilymph. Jika cairan tersebut terguncang maka manusia tidak dapat berjalan dengan lurus, bahkan bias berdampak pada pandangan yang menjadi kabur dan kepala yang terasa pusing.

g.    Daftar Pustaka    
:
Pujianto, Sri. 2008. Menjelajah Dunia Biologi 2.             Jakarta: Tiga Serangkai
Puspitawati, I. (1999). Psikologi faal. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Hilgard, E.R. (1983). Pengantar Psikologi. Editor: Agus Dharman, SH, M. Ed., Ph.D. & Michael Adryanto. Jakarta: Erlangga

Notes
:
1.    Telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu: bagian luar, bagian tengah, dan bagian dalam.
2.    Bagian luar: daun telinga, cuping telinga, liang telinga, membran timpani.
3.     Bagian tengah: M.I.S (Maleus, Incus, Stapes) / MALAS (Martil, Landasan, Sangurdi).
4.    Bagian dalam: rumah siput (koklea) à ada 2 macam cairan, yaitu endolymph dan perilymph yang membuat kita seimbang saat berjalan.
5.    Pada telinga bagian dalam terdiri 2 ruangan yang berhubungan satu dengan yang lain, ruangan tersebut tidak teratur dan disebut labyrinth
6.    Labirin ada dua yaitu:
       a. Labyrinthus Ossecus (Dinding tulang)     terdiri dari: serambi (vestibulum), saluran     gelung (canalis semicircularis), dan rumah     siput (cochlea).
       b. Labyrinthus Membranicus (Membrane)     terdiri dari: sacula, orticula, 3 buah     saluran gelung, dan rumah siput yang     merupakan bagian yang berhubungan     dengan cacula donatricula.
7.    Syaraf Kranial à auditoriu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar