Di wilayah Provinsi Jawa Timur bagian Barat Daya,
tepatnya di Kabupaten Ponorogo, arah selatan Kota Madiun, ada cerita rakyat
yang sangat popular, yaitu kisah mengenai Manusia Setengah Dewa dari tokoh
legendaris Bathara Katong.
Konon, pada masa
Kerajaan Majapahit masih tercatat sebagai kerajaan terbesar di Nusantara
(Jawa-Melayu) dan diperintah oleh Raja Bhre Kertabhumi atau Prabu Brawijaya,
ada seorang tentara kerajaan yang memberontak karena tidak sepakat dengan
kebijakan-kebijakan sang raja. Tentara kerajaan itu bernama Raden Ketut Suryangalam,
yang selanjutnya dikenal dengan julukan Ki Ageng Kutu.
Pembrontakan Ki Ageng Kutu mulai terlihat sejak Raja
Bbhre Kertabhumi menyunting seorang istri (garwa selir) yang berasal dari Cina
dan sudah memeluk agama Islam, namanya Champa. Perkawinan ini terjadi atas
saran para Walisanga sebagai salah satu penopang strategi dakwah Islam di Pulau
Jawa.
Meskipun perkawinan itu atas saran para Walisanga,
tetapi menurut pandangan Ki Ageng Kutu, setelah perkawinan berlangsung, situasi
dan kondisi Kerajaan Majapahit berubah: sangat berpihak pada kepentingan
keluarga, kerabat dan kolega Champa.
Begitulah, tanpa sepengetahuan para panglima kerajaan,
Ki Ageng Kutu bersama beberapa penggawa yang berpihak kepadanya meninggalkan
lingkungan istana menuju kea rah barat. Mereka kemudian menetap di daerah
Wengker (hutan belantara) untuk menyusun kekuatan baru guna melakukan perlawanan.
Secara bertahap, sesuai kemampuan ilmu yang
dikuasainya, Ki Ageng Kutu mulai menyebarkan pengaruhnya dengan cara mendirikan
perguruan olah kanuragan (seni bela diri). Ia pun mengajak anak-anak muda dari
desa yang berada di sekitar daerah Wengker. Anak-anak muda itu dilatih,
digembleng, dan diajari ilmu kekebalan diri sebagai modal utama untuk melakukan
pemberontakan dan perang.
Akan tetapi, Ki Ageng Kutu kemudian menyadari bahwa
ilmu kekebalan diri saja tidaklah cukup untuk mengalahkan pasukan tentara
Mmajapahit. Karena itu, pada suatu hari ia kumpulkan semua pengikut setianya
untuk membicrakan strategi baru.
“Wahai pengikut setiaku. Untuk melakukan perlawanan,
meruntuhkan pengaruh kekuasaan Raja Bhre Kertabhumi, kita harus menemukan
strategi yang dapat mempengaruhi rakyat secara halus. Adakah diantara kalian
yang punya usulan?” tegas Ki Ageng Kutu dalam rapat terbatas itu.
“Ki Ageng yang terhormat, kita harus menciptakan
keenian rakyat. Kita perlu menggambarkan keburukan dan kejelekan sang raja
dengan menampilkan seni barong raksasa yang berbentuk kepala singa.” usul salah
satu pengikut setianya.
“Pendapat bagus,” jawab Ki Ageng Kutu. “Tetapi dengan
menggambarkan sang raja dengan singa sangat mudah ditebak dan diketahui maksud
dan tujuannya. Bahkan bisa sebaliknya, rakyat desa menjadi takut dan menjauh
dari kita,” lanjutnya.
“Kalau begitu, kita ciptakan saja topeng raksasa yang
berbentuk burung merak. Rakyat tidak
akan begitu saja dapat menebak bahwa itu merupakan gambaran dari Champa yang
sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan sang raja,” usul pengikut setia yang
lain.
“Itu ide yang bagus, tetapi kurang tepat dan mengena,”
tegas Ki Ageng Kutu.
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Ki Ageng?” pengikut
setia yang lain lagi bertanya.
Ki Ageng Kutu melontarkan ide.
“Bagaimana kalau kita gabungkan saja keduanya? Kita
ciptakan kesenian baru yang menggunakan topeng raksasa berbentuk kepala singa,
tapi kepala singa itu kita hiasi dengan bulu-bulu indah burung merak.”
Ki Ageng Kutu langsung menyimpulkan dan memberi
maknanya. Kepala singa adalah lambing keburukan sang raja, sedangkan burung
merak lambang kuatnya pengaruh sang permaisuri.
Tidak lama kemudian, usai rapat di perguruan itu, Ki
Ageng Kutu dan pengikut setianya berhasil menciptakan kesenian rakyat yang
berbentuk Singabarong, sebuah topeng raksasa berkepala dua: kepala singa dengan
gigi taring yang menakutkan, dan kepala burung merak dengan bulu-bulu sayapnya
yang indah mempesona.
Namun, karena topeng raksasa itu sangat berat dan
belum ada di antara pengikut setianya yang mampu memakai dan memainkannya dalam
sebuah tarian, akhirnya Ki Ageng Kutu sendirilah yang berperan menjadi
penarinya.
Melalui kesenian rakyat Reog Singabarong, kedigdayaan Ki Ageng Kutu
mulai dikenal dan memiliki perngaruh yang kuat terhadap masyarakat yang berada
di sekitar daerah Wengker. Akhirnya berdirilah kerajaan kecil di daerah
tersebut yang diberi nama Kerajaan Wengker. Semakin hari, kekuasaan dan
pengaruh kerajaan kecil ini semakin luas, sampai akhirnya terdengar oleh Raja
Bhre Kertabhumi dan dianggap sebagai kekuatan yang membahayakan Kerajaan
Majapahit.
Saat itu kekuasaan Majapahit mulai meredup. Banyak
konflik internal terjadi dan korupsi mulai merebak di lingkungan istana. Di
sisi lain, Kerajaan Islam Demak yang didirikan oleh para wali di daerah Jawa
Tengah bagian utara, yang masih menjadi bagian dari Majapahit, mulai dikenal
dan memiliki pengaruh kuat di wilayah Jawa bagian utara.
Sementara itu, putra raja hasil perkawinannya dengan
Champa, yaitu Raden Joko Piturun alias Raden Harak Kali, yang sedang berguru
kepada para wali di Kerajaan Islam Demak, sudah menjadi seorang pendekar. Ia
dikenal luas sebagai Lembu Kanigoro. Kanigoro diminta ayahandanya untuk pulang
ke Majapahit dan kemudian diberi tugas untuk memberantas kekuatan Ki Ageng Kutu
di Kerajaan Wengker.
Tugas mulia itu langsung dilaksanakan. Bersama pasukan
yang telah disiapkan, Lembu Kanigoro berangkat menuju Kerajaan Wengker dan
melakukan perang secara terbuka dengan pasukan Raden Kutu.
Karena sama kuatnya, dalam peperangan itu tidak ada
pihak yang kalah dan menang. Lembu Kanigoro kemudian menyusun strategi baru. Ia
mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini. Ia berpura-pura akan
menikahinya secara resmi dan akan membawanya ke Majapahit.
Melalui Niken Gandini, Lembu Kanigoro berhasil mencuri
pusaka Karo Welang yang menjadi senjata pamungkas Ki Ageng Kutu. Setelah pusaka
Karo Welang berada di genggaman
tangannya, Lembu Kanigoro mulai mengumpulkan pasukannya kembali dan kemudian
menyerang pasukan Kerajaan Wengker secara tiba-tiba pada suatu pagi hari.
Akhirnya Ki Ageng Kutu menemui ajalnya di daerah pegunungan di dekat Laut
Selatan, yang oleh masyarakat setempat disebut Gunung Bacin.
Untuk meredam kemarahan rakyat, Lembu Kanigoro
memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengumpulkan seluruh penduduk di
wilayah Wengker di sebuah lapangan kerajaan (alun-alun). Setelah semuanya
berkumpul, Lembu Kanigoro berpidato dan memberitahukan kepada seluruh rakyat
bahwa Ki Ageng Kutu sedang moksa: hilang sementara dan akan muncul kembali
dengan kekuatan baru.
Melalui pidatonya juga, Lembu Kanigoro mnyatakan bahwa
dirinya dalah bathara (anak dewa yang diturunkan ke bumi) yang bernama Katong.
Sejak peristiwa itu, Lembu Kanigoro lebih popular dengan nama Bathara Katong.
Ia pun ditetapkan sebagai Adipati Majapahit (pemimpin daerah) yang berkuasa
penuh di Kerajaan Wengker. Ia kemudian menikah secara resmi dengan Niken
Gandini.
Bersama putra lelaki Ki Ageng Kutu yang bernama
Suromenggolo, Bathara Katong memperluas wilayah Kerajaan Wengker dengan membuka
hutan-hutan (babad) yang masih dianggap keramat oleh masyarakat setempat.
Setiap hari setelah sembahyang subuh, ketika fajar mulai menyingsing, seluruh
masyarakat diajak bekerja sekuat tenaga, menebang pohon-pohon hutan satu demi
satu. Batang-batang sebagian pohon yang telah ditebang dijadikan rumah atau
tempat tinggal bagi mereka yang membutuhkan. Setelah berhasil diperluas, daerah
Wengker diubah namanya menjadi Pramana
Raga, artinya sasana bela diri.
Bersama Suromenggolo pula, seni pertunjukan rakyat
Singabarong yang diciptakan oleh Ki Ageng Kutu tetap ia pertahankan. Namun,
fungsi dan tujuan serta kisah-kisah fiktif yang dijadikan media perlawanan
terhadap Majapahit mulai dihilangkan dan diganti dengan kisah baru yang
bernuansa Islam. Untuk menarik perhatian
masyarakat luas, tarian Singabarong dikembangkan dengan berbagai variasi tarian
dan topeng-topeng yang menjadi pelengkapnya.
“Wahai, para Penggawa sekalian, sebagaimana pesan para
Walisanga, tarian Singabarong mesti dimanfaatkan untuk menyebarkan
ajaran-ajaran yang baik,” perintah Adipati Bathara Katong dengan penuh hikmat.
“Bagaimana caranya, Adipati?” tanya seorang penggawa.
“Setelah masyarakat berkumpul dan tarian Singabarong
dilaksanakan, sampaikanlah kebaikan-kebaikan yang diajarkan agama Islam.”
Dari waktu ke waktu pertunjukan Singabarong pun kian
digemari masyarakat. Bersamaan dengan hal itu, kepemimpinan Adipati Bathara
Katong semakin mapan dan wilayah kekuasaan pun semakin luas. Akhirnya ucapan ‘Pramana
Raga’ berubah di lidah rakyat setempat menjadi ‘Ponorogo’ (tarian topeng
raksasa yang berasal dari Ponorogo). Daerah
Ponorogo kini menjadi salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terletak
di sebelah selatan Kotamadya Madiun.
Diceritakan
kembali oleh Hamdy Salad
Sumber: Buku Dongeng Negeri Kita terjemahan Landung Simatupang & Y. Adhi Satiyoko
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, legenda adalah cerita rakyat
pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Legenda juga
dianggap sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya bukti-bukti otentik untuk memperkuat kebenaran cerita.
Menurut saya,
cerita rakyat di atas yang berjudul Asal Usul Reog Ponorogo merupakan cerita
yang termasuk dalam legenda. Alasannya karena:
1. Kesenian Reog Ponorogo benar-benar ada dan telah menjadi ciri
khas di daerah Ponorogo, Jawa Timur.
2. Dalam cerita di atas terkandung unsur sejarah, yang merupakan
salah satu ciri dari sebuah legenda.